Sejarah Singkat Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, hukum pidana Indonesia
merupakan hukum pidana yang berasal dari masa kolonialisme Belanda.
Meskipun demikian, dalam kenyataannya, ketentuan mengenai hukum pidana
sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara masih
berjaya. Pada masa itu hukum pidana lebih dikenal dengan istilah pidana
adat, yang umumnya tidak tertulis dan bersifat lokal serta hanya berlaku
untuk satu wilayah hukum atau kerajaan tertentu. Dalam hukum adat tidak
mengenal adanya pemisahan yang tegas antara hukum pidana dengan hukum
perdata (
privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang
bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari
sistem hukum Eropa, yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam pelbagai literatur, hukum pidana yang berlaku di Indonesia
dapat dibagi dalam tiga masa: masa sebelum penjajahan Belanda; masa
sesudah kedatangan penjajahan Belanda; dan masa setelah kemerdekaan.
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Tercatat terdapat beberapa hukum pidana yang pernah ada dan berlaku
di beberapa wilayah hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain:
Ciwasana atau
Purwadhigama pada abad ke-10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab
Gajamada pada pertengahan abad ke -14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit, Gajahmada; Kitab
Simbur Cahaya yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun Seding di Palembang; Kitab
Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan pada awal abad 16; Kitab
Lontara’ ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir abad 19;
Patik Dohot Uhum ni Halak Batak di Tanah Batak; dan
Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya sebagian dari hukum pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Hukum yang pertama kali digunakan oleh VOC pada pusat-pusat
perdagangan mereka di Nusantara adalah hukum yang dijalankan di atas
kapal-kapal VOC (
Scheeps Recht). Hukum kapal ini terdiri dari dua
bagian, yaitu hukum Belanda kuno dan asas-asas hukum Romawi. Dalam
perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan Octrooi Staten General,
sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah yang memiliki
hak istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan
perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan
mencetak uang. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan yang
dimilikinya, VOC kemudian mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam
bentuk plakat-plakat (
plakaten).
Pada awalnya plakat tersebut hanya berlaku untuk wilayah kota Betawi.
Namun seiring dengan kekuasaannya yang semakin meluas juga diberlakukan
di seluruh wilayah VOC. Dikarenakan sejak awal tidak disusun dan
dikumpulkan secara baik dan teratur, Gubernur Jenderal Van Diemen
kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk menyusun dan mengumpulkan
plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah
Statuten van Batavia. Dengan demikian pada masa VOC telah berlaku:
- Hukum statuten (termuat di dalam Statuta Batavia);
- Hukum Belanda yang kuno;
- Asas-asas hukum Romawi.
b. Masa Besluiten Regering Tahun 1814-1855
Masa
Besluiten Regering dimulai saat peralihan kekuasaan dari
Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda yang berdasarkan Konvensi
London tanggal 13 Agustus 1814. Konvensi ini mengharuskan Kerajaan
Inggris untuk mengembalikan bekas koloni Belanda yang pernah dikuasainya
kepada Pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan kekuasaannya, Pemerintah
Belanda kemudian menunjuk tiga orang Komisaris Jenderal yang terdiri
dari: Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Para Komisaris Jenderal
tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris
dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya
kodifikasi hukum. Pada masa ini tidak ada ketentuan baru di bidang hukum
pidana.
c. Masa Regeling Reglement Tahun 1855-1926
Perubahan undang-undang dasar (
Grond wet) di Belanda membawa
akibat pada perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
seluruh wilayah Belanda dan daerah jajahannya. Perubahan itu membuat
kekuasaan raja Belanda menjadi berkurang, salah satunya dalam hal
pembuatan undang-undang. Sehingga peraturan yang diterapkan tidak hanya
Koninklijk Besluit saja tetapi juga harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur daerah jajahan adalah
Regeling Reglement (RR) yang dibuat dalam bentuk undang-undang dan diundangkan dengan
Staatblad No. 2 Tahun 1855. Pada masa RR inilah terdapat beberapa ketentuan terkait hukum pidana, yaitu:
- Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 tahun 1866.
- Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa.
- Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Pribumi yang diundangkan dengan Staatblad No 85 tahun 1872.
- Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
- Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan
Staatblad No. 732 tahun 1915 yang mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling Tahun 1926-1942
Indische Staatregeling (IS) merupakan perubahan dari Regeling
Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926, dengan
diundangkannya Staatblad No. 415 tahun 1925. Perubahan Grond Wet,
khususnya mengenai pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum
yang berlaku, semakin mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda yang
sesuai dengan asas konkordansi. Ketentuan mengenai pembagian golongan
penduduk tersebut diatur di dalam Pasal 131 jo pasal 163 IS.
e. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Masa pendudukan Jepang selama kurang lebih 3,5 tahun tidak memberikan
perubahan yang signifikan dalam ketentuan hukum yang diberlakukan.
Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942,
yang mengatur antara lain: perihal badan-badan pemerintahan, hukum, dan
pengakuan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa
kolonial Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan pemerintahan
milliter.
Dalam hal pemberlakuan hukum pidana, pemerintah militer Jepang
mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa, Gun Seirei No. 25 tahun 1944
tentang pengaturan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dan Gun
Seirei No. 14 tahun 1942 tentang Pengadilan di Hindia Belanda.
3. Masa Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan titik puncak
perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan juga ungkapan tekad
untuk mengubah sistem hukum kolonial menjadi
sistem
hukum nasional. Meskipun demikian, untuk membuat satu sistem hukum yang
bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu
yang tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum,
Undang-Undang Dasar 1945 kemudian memberikan kelonggaran melalui
Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 dengan menyatakan: “Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan
tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua
peraturan perundang-undangan pada masa kolonial di masa kemerdekaan.
Untuk melaksanakan dalam tataran praktis, Presiden Soekarno
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945
yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada
sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih
berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut tentu saja makin
memperjelas dan mempertegas pemberlakuan semua peraturan
perundang-undangan yang pernah ada pada masa kolonial sampai dengan
adanya peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian pula halnya
dengan ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana -juga diberlakukan.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial
tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian
mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum
perubahan
Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi
Wetboek van Strafrecht
(WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 -nya yang menyatakan,
“Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia
tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan bahwa peraturan-peraturan
hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum
pidana yang ada pada tanggal 8 maret 1942.”
Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU No. 2 Tahun 1946 juga terdapat
ketentuan yang menyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai berlaku buat
pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada
hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan
Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi
Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah
Republik Indonesia atau nasional baru dilakukan pada tanggal 20
September 1958, dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia
tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia
dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 1-nya yang berbunyi, “Undang-Undang No. 1 tahun
1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara
nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana
yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus
berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar
Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan
berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesakan
KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Upaya tersebut
masih terus berjalan dan telah menghasilkan beberapa konsep rancangan
undang-undang. Meskipun demikian, konsep-konsep tersebut tidak pernah
sampai pada kata “final” dengan menyerahkannya pada legislatif.
Setidaknya, sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada informasi lebih
lanjut mengenai kelanjutan pembahasan rancangan undang-undang hukum
pidana nasional yang mengabsorbsi semangat kemerdekaan dan proklamasi.
SUMBER = http://hukumpidana.bphn.go.id/sejarah-kuhp/