Kamis, 28 Maret 2013

KAWRUH BASA SASTRA JAWA

KAWRUH BASA
ISTILAH-ISTILAH DALAM SASTRA JAWA

babad:sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa;
digunakaan untuk pengertian yang sama dalam tradisi
sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan
carita, sajarah [Jawa/Sunda], hikayat, silsilah, sejarah
[Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia
bebasan: ungkapan yang memiliki makna kias dan
mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan,
misalnya nabok nyilih tangan.
gancaran: wacana berbentuk prosa.
gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan
wangsalan] yang merupakan isi atau inti.
guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi
tradisional Jawa [tembang macapat].
guru lagu: [disebut juga dhong-dhing] aturan rima
akhir pada puisi tradisional Jawa.
guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam
puisi tradisional Jawa.
janturan: kisahan yang disampaikan dalang dalam
pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi
adegan.
japa mantra: mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib
berupa pengharapan.
kagunan basa: penggunaan kata atau unsur bahasa yang
menimbulkan makna konotatif; ada berbagai macam
kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan,
bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
kakawin: puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan
adaptasi kawyra dari India; salah satu unsur
pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata
pendek [guru dan laghu].
kidung: puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki
aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap
baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum
yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan
terdapat lebih dari satu pola metrum.
macapat: puisi berbahasa Jawa baru yang
memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah
suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik
jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas
kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang
digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan
pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan;
secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,
yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma,
pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung,
jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan
girisa.
manggala: “kata pengantar” yang terdapat di bagian
awal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno
biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan
penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang
memerintahkan penulisan, serta–meskipun tak selalu
ada–penanggalan saat penulisan dan nama penyair;
istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam
penelitian teks-teks sastra Jawa baru.
pada: bait
parikan: puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra
purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun
[Melayu].
parikan lamba: parikan yang hanya mempunyai
masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra
tebusan.
parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing
dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
pepali: kata atau suara yang merupakan larangan untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya
aja turu wanci surup.
pupuh: bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan
dengan bab dalam wacana berbentuk prosa.
panambang: sufiks/akhiran
panwacara: satuan waktu yang memiliki daur lima hari:
Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih
(Kliwon), dan Manis (Legi).
Paribasan: ungkapan yang memiliki makna kias namun
tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu
kadang, yen mati melu kelangan.
pegon: aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan
bahasa Jawa.
pujangga: orang yang ahli dalam menciptakan teks
sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak
memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang
menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata
bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa
kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa
lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara
(pandai berbicara, bercerita, dan mengarang),
mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang
‘kasar’ dan ‘halus’), nawung kridha (memiliki
pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan
waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang
kuat dan tajam).
saloka: ungkapan yang memiliki makna kiasan dan
mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan,
misalnya kebo nusu gudel.
saptawara: satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari:
Radite (Ngahad), Soma (Senen), Buda (Rebo), Respati
(Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).
sasmitaning tembang: isyarat mengenai pola metrum atau
tembang; dapat muncul pada awal pupuh (isyarat pola
metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan) tetapi
dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum
yang digunakan pada pupuh berikutnya.
sastra gagrak anyar: sastra Jawa modern, ditandai
dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan
perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
sastra gagrak lawas: sastra Jawa modern, ditandai
dengan aturan-aturan ketat
seperti–terutama–pembaitan secara ketat.
sastra wulang: jenis sastra yang berisi ajaran,
terutama moral.
sengkalan: kronogram atau wacana yang menunjukkan
lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun
gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen
dengan angka secara konvensional.
singir: syair dalam tradisi sastra Jawa.
sot: kata atau suara yang mempunyai kekuatan
mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya.
suluk: [1] jenis wacana (sastra) pesantren dan
pesisiran yang berisi ajaran-ajaran gaib yang
bersumberpada ajaran Islam; [2] wacana yang
‘dinyanyikan’ oleh dalang dalam pergelaran wayang
untuk menciptakan ‘suasana’ tertentu sesuai dengan
situasi adegan.
supata: kata atau suara yang ‘menetapkan kebenaran’
dengan bersumpah.
tembung entar: kata kiasan, misalnya kuping wajan.
wangsit: disebut juga wisik, kata atau suara yang
diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk
atau nasihat.
wayang purwa: cerita wayang atau pergelaran wayang
yang menggunakan lakon bersumber pada cerita
Mahabharata dan Ramayana.
weca: kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk
melihat kejadian di masa mendatang.
wirid: jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan
dengan tasawuf.
[Disalin dari buku Percik-percik Bahasa dan Sastra
Jawa; Karsono H Saputra; Keluarga Mahasiswa Sastra
Jawa Fakultas Sastra UI, 2001]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar